Pages

Cerpen : Ayah

Jumat, 31 Mei 2013



AYAH
Lathifah Nudhar

Ayah menghempaskan tubuhku ke lantai. Aku tak menyangka ia akan memperlakukanku seperti ini. Aku menunduk, tak berani menatap matanya. Aku tahu benar tabiatnya kala naik pitam, mata melotot, wajah sangar dan suara menggelegar. Ia memaki aku dengan kasar,aku hanya kesal dalam hati, tak lagi mengiraukan ocehannya. Setelah ia pergi, aku segera pergi ke lantai atas, masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku benci ayah! Aku benci! Ayah selalu memperlakukanku secara kasar, ayah tak pernah mendidikku secara halus, itulah yang aku benci darinya. Dan hari ini ia kembali memperlakukanku dengan kasar hanya karena aku pulang terlambat dan tak memberi kabar. Huh, sepele sekali! Padahal tadi aku hanya pergi bersama teman temanku ke pameran yang baru ada di kota kami. Aku pikir aku perlu penyegaran setelah seharian di sekolah, jadi aku pergi setelah pulang sekolah dan pulang terlambat.Lagipula hari ini adalah hari Sabtu, aku pikir aku perlu akhir pekan yang menyenangkan.Memang salahku juga tidak memberi kabar, tapi untuk apa? Aku tetap tidak akan diizinkan. Dan sepulangku dari pameran, aku malah disambut ayah dengan kemarahannya. Sungguh menyebalkan! Aku menangis sampai tertidur.

Keesokan paginya, aku terbangun dan bercermin. Aku mendapati mataku sembab, namun kesedihanku sudah banyak berkurang. Aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Hari ini hari Minggu. Aku turun ke lantai bawah dengan mengendap-endap. Bibi Nah, pembantuku ada di bawah dan menatapku dengan pandangan curiga . Aku berbicara setengah berbisik “Bi, bibi, ayah mana?”. Bibi menyahut “Oh, tuan pergi non, ada pertemuan katanya”. Aku lega, paling tidak, pagi ini aku tidak harus bersitatap dengan mata ayah yang dingin, atau merasa tersiksa sepanjang hari. Aku menuruni tangga dan menuju meja makan. Disana tersedia sarapan pagi seperti biasa.Aku menyantapnya.

Aku sedang menonton televisi ketika ponselku berdering. Kulihat di layar, ternyata Sarah menelepon, segera kuangkat .

“Hei, vina, kau tahu? Artis kesayanganmu akan tampil dalam acara pameran kota sore nanti” Sarah mencerocos tanpa spasi.

“Oh ya? Benarkah?” Aku terkejut.

“Hei, Vina, datang ya? Pasti seru. Oke?” suara Sarah membuyarkan lamunanku.

 “ Eh, iya iya, aku datang”.

 “Nah, begitu, aku tunggu ya, di tempat biasa. Dah” kata Sarah seraya menutup telepon.

Aku menatap jam dinding. Masih jam 2, mungkin jam 3 aku akan pergi. Aku lanjutkan menonton televisi. Tiba tiba aku mendengar suara mobil di depan rumah. Segera aku mematikan televisi dan terburu-buru pergi ke kamar di lantai atas. Dari atas aku sempat mendengar suara Bi Nah berbicara dengan ayah. Lalu terdengar suara kaki ayah pergi. Aku merenung sendiri.Aku memandang foto ibu yang terletak di atas meja riasku. Ah, andai ibu masih disini, pasti aku tidak perlu merasa kesepian seperti ini, andai saja ibu masih disini, mungkin sekarang aku sedang bermain dengan adik kecilku yang lucu. Aku mulai terisak dan menyalahkan takdir lagi. Mengapa ibu harus pergi secepat ini.Aku merasa hidupku benar-benar buruk. Aku tertidur lagi.

Aku terbangun pukul 14.30. Aku terkesiap dan segera berganti baju, merapikan dandanan sebentar, lalu turun ke bawah. Aku terkejut saat ayah sudah menunggu di lantai bawah. “Mau kemana?” Tanya ayah, dingin seperti biasa. “Mau pergi menonton konser bersama teman” sahutku secuek mungkin. “Tidak usah, besok sekolah, persiapkan saja sekolahmu” ucap ayah. “Tapi yah..”.”Ayah bilang tidak usah ya jangan pergi, sudahlah” Ayah memotong ucapanku. Aku lemas, aku dilanda rasa kecewa. Ayah pergi meninggalkanku. Aku segera berlari ke lantai atas.Aku sudah tidak tahan lagi. Aku harus melakukan sesuatu. Aku punya ide.
Hari sudah malam. Aku membulatkan tekadku dan menatap koper di sebelahku. Aku akan minggat. Aku sudah tidak tahan lagi berada di rumah ini. Aku hafal, setiap malam Senin ayah pasti berada di kamarnya dan Bi Nah beristirahat. Aku turun dengan mengendap-endap. Benar kan, sepi. Aku melangkah perlahan menuju pintu dan keluar dari rumah. Aku menatap pintu rumahku dengan ragu. Haruskah aku melakukan semua ini, tapi ketika teringat kekesalanku pada ayah, aku kembali yakin, aku harus tetap menjalankan rencanaku.
Aku keluar dari gerbang rumah dan mencari taksi. Aku menaiki taksi dan menunjukkan sebuah alamat pada sang supir.

Aku mengetuk pintu. Sarah mencul dari balik pintu.

 “Vina, kamu kok disini,” Ia menatapku dari atas sampai bawah, lalu menatap koperku.

 “Ssssttt, diam, jangan beritahu orang tuamu, nanti aku ceritakan” Aku berbicara sepelan mungkin.

“Oke masuklah,jangan khawatir,kedua orangtuaku sedang pergi” katanya. Aku masuk dengan santai dan langsung menuju kamarnya di lantai atas. Sarah mengikutiku dan mengunci pintu dari dalam. Ia menghampiriku dengan wajah bersungut-sungut.

“ Kamu kenapa tidak datang tadi sore, aku menunggu sampai bosan, aku pikir kamu mau datang, kamu kan penggemar berat mereka” Ia cemberut sambil duduk di sampingku.

“Hei hei sabar dulu, kamu tidak tahu kan apa yang kuhadapi sejak kemarin, jangan sok tahu” Kataku serius.

 “Memang kenapa?” Kini ganti Sarah yang serius.

 Aku lalu menceritakan semua kejadian yang kualami.

“Oh, jadi begitu, tapi sebaiknya kamu jangan seperti ini, pulanglah, pasti ayahmu khawatir” ujarnya dengan mimik wajah khawatir.

 “Ah, sudahlah, jangan sebut-sebut ayah di depanku lagi!” Aku marah, langsung menarik selimut dan tidur.

Pagi harinya, aku dibangunkan oleh Sarah yang sudah berseragam sekolah lengkap.

”Hei, aku tahu kamu pasti tidak akan sekolah. Selamat menikmati liburanmu” kata Sarah.

Aku hanya tersenyum.

 “aku pergi dulu ya” ujarnya.

 Lalu Sarah pergi ke sekolah. Aku termenung di kamarnya. Di sampingku tersedia sepiring roti dan segelas air untuk sarapan. Aku langsung menyantapnya. Aku menghabiskan sepanjang hariku bermain komputer dan play station di kamar Sarah.

Aku sedang menonton televisi ketika Sarah membuka pintu kamar. Aku mengabaikannya, ia lalu duduk di sampingku

“ Hei Vin, aku sarankan kamu sebaiknya pulang saja. Tadi pagi ayahmu mencarimu ke sekolah. Ia sangat khawatir. Ia tadi bertanya padaku, tapi aku berbohong, jadi kuberikan nomor ponselku untuk alasan kalau aku tahu dimana Vina aku akan meneleponnya. Aduh, aku jadi merasa bersalah, bagaimana kalau dia mencarimu kemana-mana, lalu frustasi karena tidak menemukan putri semata wayangnya” Ia bercerita panjang lebar dan mulai panik sendiri.

 “Sudahlah, apa yang kau lakukan sudah benar, jangan dipermasalahkan”.

 “Hei, kau ini! Pikirkan juga perasaan orang tuamu!”

“ Kau tidak tahu kan rasanya punya orang tua seperti dia, jangan sok tahu!”

“Vina, pulanglah”

“aku tidak mau” ujarku ketus.

“Vina, aku mohon sekali lagi, pikirkan perasaan ayahmu”

 “Sudahlah! Jangan bicarakan masalah ini lagi!” aku benar- benar marah.

 Sarah tak berkata lagi, ia menghela nafas, pergi ke tempat tidur dan menarik selimut. Aku teringat sesuatu 

“Hei, awas kalau kau beritahu ayahku kalau aku ada di rumahmu!”.

Keesokan harinya, aku masih di rumah Sarah. Sarah mendiamkan aku, mungkin masih kesal atas kejadian kemarin, ia berangkat sekolah tanpa memberitahu aku, tapi untunglah ia masih menyediakan sarapan untukku. Aku merasa badanku kurang sehat. Aku mandi dan tertidur lagi.

Siang harinya Sarah membangunkanku. Ia sudah berganti pakaian. Ia memanggilku dengan panik.

“ Vin, Vina, Vina cepat bangun!”

 Aku terkejut, jantungku berdebar cepat, aku merasa ada yang tidak beres

 “ kenapa?” Kataku serius.

“Ayahmu, ayahmu, kecelakaan saat mencarimu, ini pesan dari Bi Nah” katanya sambil menunjukkan ponselnya. Aku terkejut,lalu menggandeng Sarah untuk pergi bersamaku, ia menurut saja.
Kami berdua pergi naik taksi menuju rumah sakit yang ditunjukkan Bi Nah. Aku merasa cemas sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Entah mengapa aku tidak lagi memikirkan perasaan kesalku pada ayah. Aku hanya memikirkan bagaimana keadaan ayahku sekarang. Aku mulai terisak.

 Aku dan Sarah tiba di rumah sakit tempat ayah dirawat, aku berlari menuju kamarnya. Aku terdiam di depan pintu kamarnya. Sarah menunggu di kursi di depan kamar. Aku menghela nafas dan masuk. Di dalam terlihat Bi Nah dan seorang teman ayah menunggu. Bi Nah memelukku sambil menangis. Aku duduk di samping ranjang ayah, aku tak tahu tapi aku merasa sangat sedih, aku berpikir sekarang hanya ayah-lah keluarga dekatku, aku merasa benar-benar hina. Aku sudah kehilangan ibuku tapi kini seolah aku menyia-nyiakan ayahku yang masih hidup, aku terisak, aku menyesal, tiba-tiba terlintas dalam benakku bagaimana kalau ayah tak akan membuka matanya lagi, bagaimana?Bagaimana hidupku tanpa ayah? Bagaimana? Bagaimana kalau aku yatim piatu? Ya tuhan, aku benar-benar tak sanggup membayangkannya. Aku menangis lebih keras. Bi Nah menuntunku menjauh dari ranjang ayah. Ia menenangkanku.

 “Non, kembalilah ke rumah, selama non pergi 2 hari ini, ayah tak pernah istirahat, tak pernah makan, dan tidak bekerja, ia menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari anda, non kemana saja?”

Aku terdiam.

“Non, pulanglah ya,bibi mohon” bibi berkata lagi.

“Iya bi” Aku mengangguk sambil terisak.Dalam hati aku berjanji akan menuruti dan menyayangi ayah.

"Ayah, betapapun kerasnya hidupmu, sekecil apapun cintamu tetap terasa hangat di hatiku"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS