AYAH
Lathifah Nudhar
Ayah
menghempaskan tubuhku ke lantai. Aku tak menyangka ia akan memperlakukanku
seperti ini. Aku menunduk, tak berani menatap matanya. Aku tahu benar tabiatnya
kala naik pitam, mata melotot, wajah sangar dan suara menggelegar. Ia memaki
aku dengan kasar,aku hanya kesal dalam hati, tak lagi mengiraukan ocehannya.
Setelah ia pergi, aku segera pergi ke lantai atas, masuk ke kamar dan mengunci
pintu. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku benci ayah! Aku benci! Ayah selalu
memperlakukanku secara kasar, ayah tak pernah mendidikku secara halus, itulah
yang aku benci darinya. Dan hari ini ia kembali memperlakukanku dengan kasar
hanya karena aku pulang terlambat dan tak memberi kabar. Huh, sepele sekali!
Padahal tadi aku hanya pergi bersama teman temanku ke pameran yang baru ada di
kota kami. Aku pikir aku perlu penyegaran setelah seharian di sekolah, jadi aku
pergi setelah pulang sekolah dan pulang terlambat.Lagipula hari ini adalah hari
Sabtu, aku pikir aku perlu akhir pekan yang menyenangkan.Memang salahku juga
tidak memberi kabar, tapi untuk apa? Aku tetap tidak akan diizinkan. Dan
sepulangku dari pameran, aku malah disambut ayah dengan kemarahannya. Sungguh
menyebalkan! Aku menangis sampai tertidur.
Keesokan
paginya, aku terbangun dan bercermin. Aku mendapati mataku sembab, namun
kesedihanku sudah banyak berkurang. Aku bergegas mandi dan berganti pakaian.
Hari ini hari Minggu. Aku turun ke lantai bawah dengan mengendap-endap. Bibi
Nah, pembantuku ada di bawah dan menatapku dengan pandangan curiga . Aku
berbicara setengah berbisik “Bi, bibi, ayah mana?”. Bibi menyahut “Oh, tuan
pergi non, ada pertemuan katanya”. Aku lega, paling tidak, pagi ini aku tidak
harus bersitatap dengan mata ayah yang dingin, atau merasa tersiksa sepanjang
hari. Aku menuruni tangga dan menuju meja makan. Disana tersedia sarapan pagi
seperti biasa.Aku menyantapnya.
Aku sedang
menonton televisi ketika ponselku berdering. Kulihat di layar, ternyata Sarah
menelepon, segera kuangkat .
“Hei, vina, kau
tahu? Artis kesayanganmu akan tampil dalam acara pameran kota sore nanti” Sarah
mencerocos tanpa spasi.
“Oh ya?
Benarkah?” Aku terkejut.
“Hei, Vina,
datang ya? Pasti seru. Oke?” suara Sarah membuyarkan lamunanku.
“ Eh, iya iya, aku datang”.
“Nah, begitu, aku tunggu ya, di tempat biasa.
Dah” kata Sarah seraya menutup telepon.
Aku menatap jam
dinding. Masih jam 2, mungkin jam 3 aku akan pergi. Aku lanjutkan menonton
televisi. Tiba tiba aku mendengar suara mobil di depan rumah. Segera aku
mematikan televisi dan terburu-buru pergi ke kamar di lantai atas. Dari atas
aku sempat mendengar suara Bi Nah berbicara dengan ayah. Lalu terdengar suara
kaki ayah pergi. Aku merenung sendiri.Aku memandang foto ibu yang terletak di
atas meja riasku. Ah, andai ibu masih disini, pasti aku tidak perlu merasa
kesepian seperti ini, andai saja ibu masih disini, mungkin sekarang aku sedang
bermain dengan adik kecilku yang lucu. Aku mulai terisak dan menyalahkan takdir
lagi. Mengapa ibu harus pergi secepat ini.Aku merasa hidupku benar-benar buruk.
Aku tertidur lagi.
Aku terbangun
pukul 14.30. Aku terkesiap dan segera berganti baju, merapikan dandanan
sebentar, lalu turun ke bawah. Aku terkejut saat ayah sudah menunggu di lantai
bawah. “Mau kemana?” Tanya ayah, dingin seperti biasa. “Mau pergi menonton
konser bersama teman” sahutku secuek mungkin. “Tidak usah, besok sekolah,
persiapkan saja sekolahmu” ucap ayah. “Tapi yah..”.”Ayah bilang tidak usah ya
jangan pergi, sudahlah” Ayah memotong ucapanku. Aku lemas, aku dilanda rasa
kecewa. Ayah pergi meninggalkanku. Aku segera berlari ke lantai atas.Aku sudah
tidak tahan lagi. Aku harus melakukan sesuatu. Aku punya ide.
Hari sudah
malam. Aku membulatkan tekadku dan menatap koper di sebelahku. Aku akan
minggat. Aku sudah tidak tahan lagi berada di rumah ini. Aku hafal, setiap
malam Senin ayah pasti berada di kamarnya dan Bi Nah beristirahat. Aku turun
dengan mengendap-endap. Benar kan, sepi. Aku melangkah perlahan menuju pintu
dan keluar dari rumah. Aku menatap pintu rumahku dengan ragu. Haruskah aku
melakukan semua ini, tapi ketika teringat kekesalanku pada ayah, aku kembali
yakin, aku harus tetap menjalankan rencanaku.
Aku keluar dari
gerbang rumah dan mencari taksi. Aku menaiki taksi dan menunjukkan sebuah
alamat pada sang supir.
Aku mengetuk
pintu. Sarah mencul dari balik pintu.
“Vina, kamu kok disini,” Ia menatapku dari
atas sampai bawah, lalu menatap koperku.
“Ssssttt, diam, jangan beritahu orang tuamu,
nanti aku ceritakan” Aku berbicara sepelan mungkin.
“Oke masuklah,jangan
khawatir,kedua orangtuaku sedang pergi” katanya. Aku masuk dengan santai dan
langsung menuju kamarnya di lantai atas. Sarah mengikutiku dan mengunci pintu
dari dalam. Ia menghampiriku dengan wajah bersungut-sungut.
“ Kamu kenapa tidak
datang tadi sore, aku menunggu sampai bosan, aku pikir kamu mau datang, kamu
kan penggemar berat mereka” Ia cemberut sambil duduk di sampingku.
“Hei hei sabar
dulu, kamu tidak tahu kan apa yang kuhadapi sejak kemarin, jangan sok tahu”
Kataku serius.
“Memang kenapa?” Kini ganti Sarah yang serius.
Aku lalu menceritakan semua kejadian yang
kualami.
“Oh, jadi
begitu, tapi sebaiknya kamu jangan seperti ini, pulanglah, pasti ayahmu
khawatir” ujarnya dengan mimik wajah khawatir.
“Ah, sudahlah, jangan sebut-sebut ayah di
depanku lagi!” Aku marah, langsung menarik selimut dan tidur.
Pagi harinya,
aku dibangunkan oleh Sarah yang sudah berseragam sekolah lengkap.
”Hei, aku tahu
kamu pasti tidak akan sekolah. Selamat menikmati liburanmu” kata Sarah.
Aku hanya
tersenyum.
“aku pergi dulu ya” ujarnya.
Lalu Sarah pergi ke sekolah. Aku termenung di
kamarnya. Di sampingku tersedia sepiring roti dan segelas air untuk sarapan.
Aku langsung menyantapnya. Aku menghabiskan sepanjang hariku bermain komputer
dan play station di kamar Sarah.
Aku sedang
menonton televisi ketika Sarah membuka pintu kamar. Aku mengabaikannya, ia
lalu duduk di sampingku
“ Hei Vin, aku
sarankan kamu sebaiknya pulang saja. Tadi pagi ayahmu mencarimu ke sekolah. Ia
sangat khawatir. Ia tadi bertanya padaku, tapi aku berbohong, jadi kuberikan
nomor ponselku untuk alasan kalau aku tahu dimana Vina aku akan meneleponnya.
Aduh, aku jadi merasa bersalah, bagaimana kalau dia mencarimu kemana-mana, lalu
frustasi karena tidak menemukan putri semata wayangnya” Ia bercerita panjang
lebar dan mulai panik sendiri.
“Sudahlah, apa yang kau lakukan sudah benar,
jangan dipermasalahkan”.
“Hei, kau ini! Pikirkan juga perasaan orang
tuamu!”
“ Kau tidak tahu
kan rasanya punya orang tua seperti dia, jangan sok tahu!”
“Vina,
pulanglah”
“aku tidak mau”
ujarku ketus.
“Vina, aku mohon
sekali lagi, pikirkan perasaan ayahmu”
“Sudahlah! Jangan bicarakan masalah ini lagi!”
aku benar- benar marah.
Sarah tak berkata lagi, ia menghela nafas,
pergi ke tempat tidur dan menarik selimut. Aku teringat sesuatu
“Hei, awas
kalau kau beritahu ayahku kalau aku ada di rumahmu!”.
Keesokan
harinya, aku masih di rumah Sarah. Sarah mendiamkan aku, mungkin masih kesal atas
kejadian kemarin, ia berangkat sekolah tanpa memberitahu aku, tapi untunglah ia
masih menyediakan sarapan untukku. Aku merasa badanku kurang sehat. Aku mandi
dan tertidur lagi.
Siang harinya
Sarah membangunkanku. Ia sudah berganti pakaian. Ia memanggilku dengan panik.
“ Vin, Vina,
Vina cepat bangun!”
Aku terkejut, jantungku berdebar cepat, aku
merasa ada yang tidak beres
“ kenapa?” Kataku serius.
“Ayahmu, ayahmu,
kecelakaan saat mencarimu, ini pesan dari Bi Nah” katanya sambil menunjukkan
ponselnya. Aku terkejut,lalu menggandeng Sarah untuk pergi bersamaku, ia
menurut saja.
Kami berdua
pergi naik taksi menuju rumah sakit yang ditunjukkan Bi Nah. Aku merasa cemas
sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Entah mengapa aku tidak lagi
memikirkan perasaan kesalku pada ayah. Aku hanya memikirkan bagaimana keadaan
ayahku sekarang. Aku mulai terisak.
Aku dan Sarah tiba di rumah sakit tempat ayah
dirawat, aku berlari menuju kamarnya. Aku terdiam di depan pintu kamarnya.
Sarah menunggu di kursi di depan kamar. Aku menghela nafas dan masuk. Di dalam
terlihat Bi Nah dan seorang teman ayah menunggu. Bi Nah memelukku sambil
menangis. Aku duduk di samping ranjang ayah, aku tak tahu tapi aku merasa
sangat sedih, aku berpikir sekarang hanya ayah-lah keluarga dekatku, aku merasa
benar-benar hina. Aku sudah kehilangan ibuku tapi kini seolah aku
menyia-nyiakan ayahku yang masih hidup, aku terisak, aku menyesal, tiba-tiba
terlintas dalam benakku bagaimana kalau ayah tak akan membuka matanya lagi,
bagaimana?Bagaimana hidupku tanpa ayah? Bagaimana? Bagaimana kalau aku yatim
piatu? Ya tuhan, aku benar-benar tak sanggup membayangkannya. Aku menangis
lebih keras. Bi Nah menuntunku menjauh dari ranjang ayah. Ia menenangkanku.
“Non, kembalilah ke rumah, selama non pergi 2
hari ini, ayah tak pernah istirahat, tak pernah makan, dan tidak bekerja, ia
menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari anda, non kemana saja?”
Aku terdiam.
“Non, pulanglah
ya,bibi mohon” bibi berkata lagi.
“Iya bi” Aku
mengangguk sambil terisak.Dalam hati aku berjanji akan menuruti dan menyayangi
ayah.
"Ayah, betapapun kerasnya hidupmu, sekecil apapun cintamu tetap terasa hangat di hatiku"